Daerah Gunung Kidul di propinsi D.I.Yogyakarta merupakan contoh nyata untuk menjelaskan buruknya sistem sanitasi dan saluran air limbah serta kurangnya kesadaran dan usaha untuk mengolah limbah cair di Indonesia. Gunung Kidul terletak di lokasi bukit kapur di pulau jawa. Pertanian merupakan sektor utama pendapatan bagi penduduk di Gunung Kidul dan air merupakan bagian terpenting untuk menyuburkan tanaman. Akan tetapi, daerah Gunung Kidul mengalami kekurangan air yang sangat parah terutama pada musim kemarau. Fakta tersebut menjelaskan bahwa peningkatan akses untuk air minum dan pengolahan limbah cair sangat dibutuhkan oleh warga Gunung Kidul.
Penelitian ini bertujuan untuk mencari metode yang paling efektif untuk mengolah limbah cair yang berasal dari tangki septik (black water) sehingga menjadi air irigasi. Oleh karena itu, banyak sekali pertanyaan yang muncul antara lain, bagaimanakah respon masyarakat? Manakah proses yang tepat untuk diaplikasikan pada masyarakat? Apakah metode tersebut akan dapat mengurangi pengeluaran? Secara rinci, detail tujuan dari penelitian ini antara lain:
Tinjauan Pustaka dan Landasan Teori
Menurut Lerner (2005) limbah cair merupakan segala jenis air yang memerlukan pembersihan setelah digunakan. Air tersebut termasuk air yang telah digunakan untuk mencuci, mandi, toilet, dan untuk tujuan industri. Limbah cair juga mencakup air hujan yang telah terkontaminasi oleh polutan. Polutan merupakan bahan kimia yang tidak diinginkan ataupun bahan yang mengkontaminasi air, udara dan tanah. Menurut Cheremisinoff (2002), polutan berbahaya yang terdapat pada limbah cair dapat dikelompokan menjadi beberapa jenis, antara lain: logam berat, kekeruhan, kandungan organic, pathogen dan nutrient. Menurut Malisie (2008), sebagai bagian dari limbah cair, terdapat beberapa tipe limbah cair domestik, antara lain: grey water, black water, yellow water, dan brown water. Jönsson (2001) memaparkan bahwa “semua nitrogen, posfor dan kalium yang berasal dari urin dan feses dapat dimanfaatkan kembali untuk pertanian, kecuali nitrogen yang masih berupa ammonia.
Untuk melihat potensi yang dimiliki oleh limbah cair yang dapat digunakan untuk pertanian, dapat terlihat dari: setiap orang menghasilkan 500 L urin dan 25-50 kg feses per tahun (Vinnerås, 2002; Palmquist and Jönsson, 2004). Pada urin sekitar 75-90 % nitrogen dikeluarkan dalam bentuk urea dan sisanya ammonium dan kreatinine (Lentner et al, 1981 in Jönsson et al., 2004).
Analisis limbah cair harus dilakukan untuk mengetahui dengan pasti jumlah kandungan polutan yang terdapat pada limbah cair. Jumlah dan tipe polutan yang terkandung menjadi pertimbangan utama dalam memilih metode proses pengolahan limbah cair. Filtrasi merupakan metode yang sering digunakan untuk mengolah limbah cair. Salah satu faktor yang berpengaruh pada pemilihan proses filtrasi yaitu dapat diadaptasikan dan digunakan pada daerah kecil (Gunung Kidul). System filtrasi ini beroperasi secara pasif, oleh karena itu perlu adanya upaya yang tepat untuk mengoperasikannya sehingga dapat dengan mudah diimplementasikan dan dioperasikan (Barrett et al., 1991). Oleh karena itu kriteria yang sangat tepat untuk proses filtrasi ini antara lain: proses filtrasi dengan biaya murah, mudah dioperasikan dan proses berjalan dengan efektif.
Seperti yang dijabarkan oleh Logsdon (2002), “saringan pasir lambat sangat mudah diadaptasi karena proses operasinya yang sangat simpel”.
Akhir-akhir ini saringan pasir lambat banyak digunakan, beroperasi dengan laju alir yang lambat dan menggunakan ukuran pasir yang halus. Pada dasarnya, saringan pasir lambat terdiri dari tumpukan pasir yang disangga oleh lapisan krikil sebagai bagian dari sistem drainasi, yang semuanya masuk ke dalam kolom filter yang terbuka dengan satu set untuk pembersihan dan alat control yang diletakan pada bagian inlet dan outlet. Keberhasilan dari saringan pasir lambat tergantung pada parameter desain, antara lain: kualitas bahan baku, karakteristik media filter, ketinggian tumpukan pasir, laju filtrasi, mode operasi, pertumbuhan alga, komunitas biologis: mikroba, diameter butiran pasir dan distribusi ukuran.
Metodologi Penelitian
Pemilihan media filter tergantung dari beberapa faktor antara lain kemampuan untuk menahan partikel padat, harga dan ketersediaannya. Oleh karena itu pasir pantai yang berasal dari pantai Ngobaran dan pasir yang berasal dari gunung Merapi dipilih sebagai media filter.
Ukuran pasir mengacu pada standar USA dan diklasifikasikan menjadi tiga ukuran antara lain sangat kasar (+8-16 mesh), kasar (+16-30 mesh) dan medium (+30-50 mesh) serta dua macam ukuran untuk pasir pantai yakni kasar (+16-30 mesh) dan medium (+30-50 mesh).
Proses persiapan dimulai dari mengumpulkan supernatant yang berasal dari tangki septik. Proses ini diawali dengan proses sedimentasi untuk mengendapkan partikel padatan yang berasal dari black water dan untuk memisahkan partikel padatan dengan supernatant. Supernatant yang berada dibagian atas dapat diambil dan digunakan sebagai influent untuk filtrasi dengan sabut kelapa sebagai media filternya sebelum masuk ke proses utama. Hasil filtrasi sabut kelapa kemudian diambil dan dianalisis kandungan Ammonia, BOD, COD dan nitrat nya sebagai pembanding untuk hasil yang keluar dari proses utama.
Hasil filtrasi kemudian dipompa dan dimasukan ke reservoir atas yang kemudian dialirkan ke kolom saringan pasir lambat sebagai inflow dari proses utama. Peralatan ini terdiri dari satu reservoir dan lima kolom filtrasi yang diletakan di dekat reservoir. Kelima kolom tersebut dihubungkan dengan menggunakan pipa PVC standar.
Hasil dan Pembahasan
Hasil penelitian untuk mengidentifikasi efek dari jenis pasir dan ukuran butiran pasir pada kandungan ammonia, nitrat, BOD, dan COD dari keluaran saringan pasir lambat yang mengacu pada efektifitas akan dibahas pada bab ini.
Table 2.Inflow dan outflow dari BOD dan COD
Efek Dari Jenis Pasir Terhadap Ammonia, Nitrat, BOD dan COD Hasil Filtrasi Saringan Pasir Lambat
Dari hasil penelitian terlihat bahwa jenis pasir dapat berpengaruh terhadap hasil filtrasi. Pasir vulkanik dapat mengurangi jumlah ammonia, BOD dan COD serta dapat meningkatkan produksi nitrat. Hal ini disebabkan karena pasir lava mempunyal luas permukaan spesifik yang lebih besar dari pasir pantai. Sehingga lebih banyak mikroba yang tertahan pada pasir vulkanik yang kemudian membentuk biofilm.
Hasil tersebut sesuai dengan kesimpulan dari Kikuchi (1994) yang menyatakan bahwa permukaan dari media filter mempunyai efek terhadap proses nitrifikasi. Hal tersebut terjadi karena semakin banyak ketersediaan luas permukaan spesifik maka semakin besar laju nitrifikasi per volume media. Biodegradasi terjadi pada proses aerobic yang membutuhkan oksigen. Semakin tebal biofilm yang terbentuk maka semakin rendah kadar oksigen yang berada dalam kolom sehingga proses anaerobik terjadi. Proses anaerobic dan aerobic berlangsung secara bersama-sama, dalam artian proses nitrifikasi dimana ammonia diubah menjadi nitrit dan kemudian nitrit diubah menjadi nitrat, serta proses denitrifikasi dimana nitrat dikonversi menjadi gas nitrogen (N2). Hal ini sesuai dengan yang disimpulkan oleh Nakhla (2003) bahwa proses nitrifikasi dan denitrifikasi terjadi secara bersamaan. Sehingga, semakin lama persentase proses aerobic akan berkurang dan sebaliknya proses anaerobic akan meningkat seiring dengan semakin tebalnya biofilm. Kemudian sampai pada ketebalan tertentu biofilm akan terlepas karena jumlah oksigen yang berada didalam biofilm semakin berkurang, oleh karena itu mikroba yang terbentuk menjadi biofilm akan mati dan terlepas dari media filter. Setelah itu media filter akan tertutupi oleh biofilm yang baru. Proses ini terjadi secara terus menerus sampai tidak ada lagi tempat untuk mikroba membentuk biofilm.
Effect of Grain Size of Sand Filter on Ammonia, Nitrate, BOD and COD of the Filtered Black Waters
Dari grafik diatas dapat disimpulkan bahwa ukuran butiran mempengaruhi persen reduksi amonik,BOD dan COD karena ukuran butiran berpengaruh pada luas spesifik area. Semakin kecil ukuran butiran maka luas permukaan spesifik akan semakin besar. Semakin besar luas permuakaan spesifik maka jumlah mikroba yang menempel akan semakin banyak dan akan membentuk biofilm. Hal ini sesuai dengan kesimpulan dari Nam (2000) bahwa pengurangan akan yang terjadi akan lebih tinggi karena semakin kecilnya celah antar pasir, seiring dengan semakin besarnya luas permukaan spesifik pada pasir dengan ukuran yang lebih kecil, sehingga lebih banyak yang terserap.
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan, Dari hasil penelitian terlihat bahwa pasir vuklanik dengan ukuran butiran +30-50 mesh merupakan jenis pasir dengan ukuran butiran yang terbaik yang dapat digunakan untuk mengolah black water sebagai air irigasi. Persen pengurangan tertinggi pada ammonia, COD dan BOD terjadi pada hari ke empat dengan masing-masing persen pengurangan 99.5%, 92.6%, 90.3%. Disamping itu produksi nitrat yang tertinggi terjadi pada hari ke empat dengan kandungan nitrat sebanyak 58.45 mg/L. Hasil filtrasi dapat memenuhi syarat untuk air irigasi.
Saran, Percobaan dengan hasil yang optimal harus dilakukan. Kata optimal disini mengacu pada distribusi ukuran, karena distribusi ukuran berpengaruh pada hasil outflow dari filtrasi saringan pasir lambat. Juga dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk meneliti efek dari jenis pasir dan ukuran butiran terhadap pengurangan jumlah E-coli.*
*Daftar Pustaka dari berbagai sumber
Tekno Limbah Vol. 2. Penulis: Presi Rishalehesty